Jumat, 14 Mei 2010

Utilitas menurut Imam ghazali

Pemikiran-pemikiran ekonomi Al-Ghazali didasarkan pada pendekatan tasawuf karena, pada masa hidupnya, orang-orang kaya, berkuasa, dan sarat prestise sulit menerima pendekatan fikih dan filosofis dalam mempercayai Hari Pembalasan.

Corak pemikiran ekonominya tersebut dituangkan dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, al-Mustashfa, Mizan al-‘Amal, dan al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk.

Pemikiran sosioekonomi al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial islami”. Tema yang menjadi pangkal tolak seluruh karyanya adalah konsep maslahat atau kesejahteraan sosial atau utilitas (kebaikan bersama), yakni sebuah konsep yang mencakup semua aktivitas manusia dan membuat kaitan yang erat antara individu dengan masyarakat.

Menurut al-Ghazali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar, yakni agama (al-dien), hidup atau jiwa (nafs), keluarga atau keturunan (nasl), harta atau kekayaan (mal), dan intelek atau akal (aql). Ia menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, tujuan utama kehidupan umat manusia adalah untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat (maslahat al-din wa al-dunya).

Walaupun keselamatan merupakan tujuan akhir, al-Ghazali tidak ingin bila pencarian keselamatan ini sampai mengabaikan kewajiban-kewajiban duniawi seseorang. Bahkan pencaharian kegiatan-kegiatan ekonomi bukan saja diinginkan, tetapi merupakan keharusan bila ingin mencapai keselamatan. Dalam hal ini, ia menitikberatkan jalan tengah dan kebenaran niat seseorang dalam setiap tindakan. Bila niatnya sesuai dengan aturan ilahi, aktivitas ekonomi dapat bernilai ibadah.

Al-Ghazali memandang perkembangan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas kewajiban sosial (fard al-kifayah) yang sudah ditetapkan Allah: jika hal-hal ini tidak dipenuhi, kehidupan dunia akan runtuh dan kemanusiaan akan binasa. Ia menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus dilakukan secara efisien karena merupakan bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seseorang.

Al-Ghazali mengidentifikasi tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi, yaitu:

1. untuk mencukupi kebutuhan hidup yang bersangkutan;

2. untuk mensejahterakan keluarga; dan,

3. untuk membantu orang lain yang membutuhkan.

Menurutnya, tidak terpenuhinya ketiga alasan ini dapat dipersalahkan oleh agama.

“Jika orang-orang tetap tinggal pada tingkatan subsistem (sadd al-ramaq) dan menjadi sangat lemah, angka kematian akan meningkat, semua pekerjaan dan kerajinan akan berhenti, dan masyarakat akan binasa. Selanjutnya, agama akan hancur, karena kehidupan dunia adalah persiapan bagi kehidupan akhirat”

“Manusia senang mengumpulkan kekayaan dan kepemilikan yang bermacam ragam. Bila ia sudah memiliki dua lembah emas, maka ia juga akan menginginkan lembah emas yang ketiga” Kenapa? Karena “manusia memiliki aspirasi yang tinggi. Ia selalu berfikir bahwa kekayaan yang sekarang cukup mungkin tidak akan bertahan, atau mungkin akan hancur sehingga ia akan membutuhkan lebih banyak lagi. Ia berusaha untuk mengatasi ketakutan ini dengan mengumpulkan lebih banyak lagi. Tetapi ketakutan semacam ini tidak akan berakhir, bahkan bila ia memiliki semua harta di dunia”

PERTUKARAN DAN EVOLUSI PASAR

“Mungkin saja petani hidup ketika peralatan pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup di tempat yang tidak memiliki lahan pertanian. Jadi, petani membutuhkan pandai besi dan tukang kayu, dan mereka pada gilirannya membutuhkan petani. Secara alami, masing-masing akan ingin untuk memenuhi kebutuhannya dengan memberikan sebagian miliknya untuk dipertukarkan. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan dengan menawarkan alat-alatnya, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut. Atau, jika petani membutuhkan alat-alat, tukang kayu tidak membutuhkan makanan. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil pertanian di lain pihak. Tempat inilah yang kemudian didatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter, juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang.”

(Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Juz III, h. 227)

“Selanjutnya praktek-praktek ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat dan makanan dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke kota-kota yang mungkin tidak memiliki semua alat-alat yang dibutuhkan, dan ke desa-desa yang mungkin tidak memiliki semua bahan makanan yang dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya menimbulkan kebutuhan alat transportasi. Terciptalah kelas pedagang regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan dan keuntungan ini akhirnya dimakan oleh orang lain juga.”

Jika petani tidak mendapatkan pembeli bagi produkproduknya, maka ia akan menjualnya pada harga yang sangat rendah… Harga makanan yang tinggi harus didorong ke bawah dengan menurunkan permintaan. Al-Ghazali menyatakan bahwa pengurangan marjin keuntungan dengan mengurangi harga akan menyebabkan peningkatan penjualan, dan karenanya terjadi peningkatan laba.

(Konsep Elastisitas Permintaan)

Al-Ghazali menjelaskan bahwa karena makanan merupakan kebutuhan pokok, maka motivasi laba harus seminimal mungkin mendorong perdagangan makanan, karena dapat terjadi eksploitasi melalui penerapan tingkat harga dan laba yang berlebihan. Ia menyatakan bahwa karena laba merupakan ‘kelebihan’, maka laba pada umumnya harus dicari melalui barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan dasar.

(Konsep Permintaan Harga Inelastis)

Al-Ghazali mengakui motivasi mencari laba dan sumber-sumbernya. Ia menganggap laba sebagai imbalan atas resiko dan ketidakpastian, karena mereka (pedagang dan pelaku bisnis) menanggung banyak kesulitan dalam mencari laba dan mengambil resiko, serta membahayakan kehidupan mereka dalam kafilah-kafilah dagang. Al-Ghazali menyatakan, jika seorang pembeli menawarkan harga “yang lebih tinggi” daripada “harga yang berlaku”, penjual harus menolaknya, karena laba akan menjadi berlebihan —walaupun hal itu bukanlah suatu kezaliman jika tidak ada penipuan di dalamnya. Laba normal seharusnya berkisar antara 5 sampai 10 persen dari harga barang. Namun demikian, penjual seharusnya didorong oleh “laba” yang akan diperoleh dari pasar yang “hakiki”, yakni akhirat.

TAHAPAN PRODUKSI DAN SPESIALISASI

“Hendaklah Anda ketahui bahwa tumbuhan dan hewan tidak dapat langsung dimakan dan dicerna. Semuanya membutuhkan transformasi, pembersihan, pencampuran, dan pemasakan sebelum dapat dikonsumsi. Roti misalnya, dimulai dengan petani yang menyiapkan dan mengolah lahan, kemudian diperlukan sapi dan peralatan untuk membajak tanah. Kemudian tanah tersebut diairi, dibersihkan dari rumput liar lalu hasilnya dipanen, dan bulir-bulir gandumnya dibersihkan dan dipisahkan.

Kemudian gandum itu digiling menjadi tepung sebelum dipanggang.

Bayangkan saja—berapa banyak pekerjaan terlibat; dan kita hanya menyebutkan beberapa saja di sini. Dan bayangkan jumlah orang yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang beragam ini, jumlah macammacam perkakas, yang terbuat dari besi, kayu, batu, dan lain-lain. Bila diselidiki, kita akan menemukan bahwa mungkin satu kerat roti dapat menjadi roti yang siap dimakan dengan bantuan mungkin lebih dari seribu pekerja. Bahkan jarum yang kecil itu menjadi berguna hanya setelah melewati tangan-tangan pembuat jarum sebanyak 25 kali, setiap kali melalui proses
yang berbeda.

Barter dan Evolusi Uang

“Penciptaan dirham dan dinar (koin emas dan perak) adalah salah satu kurnia Allah. Semua transaksi ekonomi didasarkan dua jenis uang ini. Dinar dan dirham adalah logam yang tidak memberikan manfaat langsung. Namun orang membutuhkannya untuk mempertukarkannya dengan bermacam-macam barang lainnya seperti makanan, pakaian dan lain-lain. Kadangkala seseorang membutuhkan barang yang tidak dimilikinya dan ia memiliki barang yang tidak dibutuhkannya. Contohnya, seseorang memiliki kunyit tetapi ia membutuhkan unta untuk transportasi. Orang yang lain memiliki unta tetapi tidak membutuhkannya sekarang, tetapi ia menginginkan kunyit. Bagaimanapun juga, harus ada ukuran untuk mempertukarkan kedua objek tersebut, karena pemilik unta tidak dapat menyerahkan untanya dalam bentuk utuh untuk dipertukarkan dengan sejumlah kecil kunyit. Tidak ada kesamaan antara keduanya yang memungkinkan kita menentukan jumlah yang sama menyangkut berat dan bentuknya. Barang-barang ini tidak memiliki kesetaraan untuk diperbandingkan secara langsung sehingga kita tidak dapat mengetahui berapa banyak kunyit yang harus disediakan supaya setara dengan nilai unta. Transaksi barter seperti ini sangat sulit.” Barang-barang seperti ini memerlukan media yang dapat menentukan nilai tukarnya secara adil. Bila tempat dan kelasnya dapat diketahui dengan pasti, menjadi mungkin untuk menentukan mana barang yang memiliki nilai yang sama dan mana yang tidak. Jadi ditentukanlah bahwa misalnya seekor unta sama dengan 100 dinar dan kunyit sejumlah tertentu sama dengan 100 dinar. Karena masing-masing barang tersebut sama dengan sejumlah dinar tertentu, kedua jumlah tersebut sama satu sama lain. Tetapi dinar dan dirham itu tidak dibutuhkan semata-mata karena ‘logamnya’. Dinar dan dirham diciptakan untuk dipertukarkan dan untuk membuat aturan pertukaran yang adil dan untuk membeli barang-barang yang memiliki kegunaan. Sesuatu (seperti uang) dapat

dengan pasti dikaitkan dengan sesuatu yang lain jika sesuatu itu tidak memiliki bentuk atau fitur khususnya sendiri—contohnya cermin tidak memiliki warna tetapi dapat memantulkan semua warna”

“Memasukkan uang palsu dalam peredaran merupakan suatu kezaliman yang besar. Semua yang memegangnya dirugikan… peredaran satu dirham palsu lebih buruk daripada mencuri seribu dirham, karena tindakan mencuri merupakan sebuah dosa, yang langsung

berakhir setelah dosa itu diperbuat; namun pemalsuan uang merupakan sesuatu yang berdampak pada banyak orang yang menggunakannya dalam transaksi selama

jangka waktu yang lama”

“Zaif [suasa, logam campuran], maksudnya adalah unit uang yang sama sekali tidak mengandung perak; hanya polesan; atau dinar yang tidak mengandung emas. Jika sekeping koin mengandung sejumlah perak tertentu tetapi dicampur dengan tembaga, dan itu merupakan koin resmi dalam negara tersebut, maka hal ini dapat diterima, baik muatan peraknya diketahui ataupun tidak. Tetapi jika koin itu tidak resmi, maka koin itu dapat diterima hanya jika muatan peraknya diketahui”

“Jika mereka [penguasa] meminta pendapatan dari warga negaranya, mereka harus hanya meminta pada waktu dan musim yang sesuai. Warga negara harus tahu pemanfaatannya dan beban harus ditetapkan sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya (untuk membayar). Mereka [penguasa] harus menjadi ‘pembunuh burung bangau pada waktu berburu, bukan pembunuh burung pipit’. Yakni, mereka harus mengambil sedikit atau tidak mengambil apapun dari orang miskin”

“Seseorang tidak dapat menafikan bolehnya penguasa untuk meminjam dari rakyat bila kebutuhan negara menuntutnya. Namun demikian, pertanyaannya adalah: jika penguasa tidak mengantisipasi pendapatan dalam baitul mal yang dapat melebihi apa yang dibutuhkan bagi tentara dan pejabat publik lainnya, maka atas dasar apa dana-dana itu dapat dipinjam?”

“Bila rakyat Sultan jatuh miskin atau mengalami kesukaran, maka merupakan tugasnya [sultan] untuk membantu, khususnya pada masa-masa kekeringan atau ketika mereka tidak mampu mencari penghidupan (karena harga-harga melambung). [Karenanya] raja

harus menyediakan makanan dan memberi bantuan kepada rakyatnya, serta menjamin bahwa pejabat-pejabatnya tidak menekan rakyat—karena jika hal itu terjadi, rakyat akan menjadi miskin dan meninggalkan daerahnya. Aliran pendapatan akan berhenti, laba akan dinikmati oleh penimbun, dan sang sultan akan [mendapat] kutukan dan nama buruk. Karena alasan-alasan inilah para penguasa pada zaman dulu mempraktekkan penghematan sepenuhnya dalam keadaan-keadaan demikian, dan karenanya