Selasa, 07 Juni 2011

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN


A. Latar Belakang

Sesuai dengan pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. Bumi, air dan kekayaan alam yang terandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Disamping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Disamping itu, bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Prinsip-prinsip dianut dalam Undang-undang BPHTB adalah:

1. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan system self assessment, yaitu Wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.

2. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOKKP)

3. Agar pelaksanaan Undang-undang BPHTB dapat berlaku secara efektif. Maka baik kepada wajib pajak maupun kepada pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya. Dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-perundang yang berlaku.

4. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan Negara yang sebagian besar diserahkan kepada pemerintah daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai pembangunan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah.

5. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan ketentuan ini tidak diperkenankan.

B. Pengertian Pengertian

1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak;

2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan: adalah perbuatan atau peristiwa hukum yangmengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan;

3. Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan ditasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan DasarPokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuanperaturan perundang-undangan yang lainnya

C. Objek Pajak

Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan Bangunan. Meliputi:

1. Pemindahan hak karena:

a. Jual-beli

b. Tukar-menukar

c. Hibah

d. Hibah wasiat

e. Waris

f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hokum

g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan

h. Penunjukan pembeli dalam lelang

i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hokum tetap

j. Penggabungan usaha

k. Peleburan usaha

l. Pemekaran usaha

m. Hadiah

2. Pemberian hak baru karena:

a. Kelanjutan pelepasan hak

b. Di luar pelapasan hak

D. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:

Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek-objek yang diperoleh:

1. Perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbale balik

2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintah atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum

3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut

4. Orang pribadi atau badan karena korversi hak atau karena perbuatan hokum lain dengan tidak adanya perubahan nama

5. Orang pribdi atau badan karena wakaf

6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibdah.

E. Subjek Pajak

Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek Pajak sebagaimana tersebut diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

F. Tarif Pajak

Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).

G. Dasar Pengenaan BPHTB

Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam hal;

a. Jual beli adalah harga transaksi;

b. Tukar-menukar adalah nilai pasar;

c. Hibah adalah nilai pasar;

d. Hibah wasiat adalah nilai pasar;

e. Waris adalah nilai pasar;

f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;

g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;

h. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;

i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;

j. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;

k. Penggabungan usaha adalah nilai pasar;

l. Peleburan usaha adalah nilai pasar;

m. Pemekaran usaha adalah nilai pasar

n. Hadiah adalah nilai pasar;

o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang;

Apabila NPOP dalam hal a s/d n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan , dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.

H. Pengenaan BPHTB

a. Pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah Wasiat BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang.

b. Pengenaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan. Besarnya BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut: -0% (nol persen) dan BPHTB yang seharusnya terutang terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/kota, Lembaga Pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas); -50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud diatas.

I. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan secara regional paling banyak;

a. .Rp. 49.000.000 (empat puluh sembilan juta rupiah) dalam hal perolehan hak Rumah Sederhanan Sehat (RSH) dan Rumah Susun Sederhana;

b. Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) dalam hal perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam dalam rangka program peningkatan sertifikasi tanah untuk memperkuat penjaminan kredit bagi usaha Mikro dan kecil;

c. Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah termasuk istri/suami;

d. Paling banyak Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dalam hal selain a, b dan c.

J. Saat, Tempat, dan Cara Pembayaran Pajak Terutang.

Saat terutang Pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk:

a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

b. Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

d. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;

e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

g. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;

h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap;

i. Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;

j. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

k. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

l. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

m. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

n. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

o. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

Tempat Pajak Terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan bangunan.

Cara Pembayaran Pajak adalah wajib pajak membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pajak terutang dibayar ke kas Negara melalui Kantor Pos/Bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB).

I. Cara Penghitungan BPHTB

Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5 % (lima persen). Secara matematis adalah;

BPHTB = 5 % X (NPOP – NPOPTKP)

Contoh;

1. Pada tanggal 6 Januari 2006, Tuan “S” membeli tanah yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp.50.000.000,00. NJOP PBB tahun 2006 Rp. 40.000.000,00. Mengingat NJOP lebih kecil dari harga transaksi, maka NPOP-nya sebesar Rp. 50.000.000,- Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

BPHTB = 5 % x (Rp. 50 juta – Rp. 60 juta)

= 5 % x (0)

= Rp. 0 (nihil).

2. Pada tanggal 7 Januari 2006, Nyonya “D” membeli tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp. 90.000.000,- NJOP PBB tahun 2006 adalah Rp.100.000.000,00. Sehingga besarnya NPOP adalah Rp. 100.000.000.-. NPOPTKP untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp. 100.000.000,00 dikurangi Rp. 60.000.000,00 sama dengan Rp. 40.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

BPHTB = 5 % x (Rp. 100 – Rp. 60) juta

= 5 % x ( Rp. 40) juta

= Rp. 2 juta .

3. Pada tanggal 28 Juli 2006, Tuan“S” mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah Rp. 400.000.000,00 dikurangi Rp. 300.000.000,00 sama dengan Rp. 100.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 400 – Rp. 300) juta

= 50% x 5 % x ( Rp. 100) juta

= Rp. 2,5 juta.

4. Pada tanggal 7 November 2006, Wajib Pajak orang pribadi “K” mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung, sebidang tanah yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 250.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 250 – Rp. 300) juta

= 50% x 5 % x (0)

= Rp. 0 (nihil).

II. Pembayaran BPHTB

Sistem pemungutan BPHTB pada prinsipnya menganut sistem “self assessment”. Artinya Wajib Pajak Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.Pajak yang terutang dibayarkan ke kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Bea (SSB).

III. . Penetapan

1. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

2. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

IV. Penagihan

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan apabila :

1. Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;

2. Dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;

3. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak. Dan jika tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

V. Keberatan dan Banding

1. Tata cara Penyelesaian Keberatan

a. Wajib pajak mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jendral Pajak

b. Keberatan diajukan dalam Bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan wajib pajak.

c. Keberatan harus dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak diterimanya surat ketetapan.

d. Tanda penerimaan surat Keberatan dari DirJen Pajak melalui Pos menjadi tanda bukti penerimaan surat Keberatan

e. Dirjen pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterim, harus member keputusan (mengabulkan seluruhnya, mengabulkan sebagian, Menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang).

f. Apabila dalam 12 bulan telah lewat dan Dirjen Pajak tidak member suatu keputusan, keberatan yang diajukan dianggap dikabulkan.

g. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

h. Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai deterbitkan keputusan keberatan.

2. Tata cara Penyelesaian Banding

a. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada pengdilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Pajak

b. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan keberatan diterima, dengan cara:

ü Tertulis dalam bahasa Indonesia

ü Mengemukakan alasan-alasan yang jelas

ü Dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan

c. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak

d. Apabila peermohonan bandig dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai deterbitkan putusan Banding.

VI. Pengurangan

Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh Menteri karena:

1. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, contoh;

ü Wajib Pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan;

ü Wajib Pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah.

2. . kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, contoh;

Ø Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak;

Ø Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;

Ø Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.

3. tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan, contohnya; Tanah dan atau bangunan yang digunakan, antara lain, untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, pesantren, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat.

VII. Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHTB

Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembanyaran pajak kepada Direktur Jendral Pajak, antara lain dalam hal:

1. Pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang

2. Pajak yang terutang sudah dibayar oleh Wajib Pajak sebelum akta ditanda-tangani, namun perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut batal.

VIII. Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB

Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan Negara (dalam hal ini Pemerintah pusat) dan disetor sepenuhnya ke rekening Kas Negara. Namun demikian BPHTB akan dibagi untuk pemerintah Pusat dan Daerah dengan Imbalan sbb:

1. 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah pusat

2. 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.

Jumlah 20% bagian Pemerintah pusat dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada seluruh Kabupaten/Kota.

Jumlah 80% bagian Daerah diperinci sebagai berikut:

1. 16% untuk daerah Provinsi yang bersangkutan dan disalurkan melalui rekening Kas Umum Daerah Provinsi.

2. 64% untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan disalurkan melalui rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota.