Senin, 14 Juni 2010

Mudharabah dan Musyarakah dalam Pembiyaan produktif

A. PENDAHULUAN

Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan kegiatan-kegiatan bisnis. Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan, namun tidak ada seorangpun yang dapat memastikan hasilnya seratus persen. Suatu usaha, walaupun direncanakan dengan sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai resiko untuk gagal. Faktor ketidakpastian adalah faktor yang given, sudah menjadi sunnatullah, sebagaimana Allah SWT Berfirman

ان الله عنده علم الساعة وينزل الغيث وتعلم ما فى الارحام. وما تدرى نفس ماذا تكسب غدا.

وما تدرى باي ارض تموت. ان الله عليم خبير.

. Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok.dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Konsep Bagi hasil, dalam menghadapi ketidakpastian merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar dari ekonomi Islam, yang dianggap dapat mendukung aspek keadilan. Keadilan merupakan aspek mendasar dalam perekonomian Islam (Antonio, 2001). Penetapan suatu hasil usaha didepan dalam suatu kegiatan usaha dianggap sebagai sesuatu hal yang dapat memberatkan salah satu pihak yang berusaha, sehingga melanggar aspek keadilan.

Bahwa kegiatan-kegiatan investasi bank Islam oleh para teoritisi Perbanklan Islam membayangkan mesti di dasarkan pada dua konsep hukum : Mudharabah dan Musyarakah, atau yang dikenal dengan istilah Profit and Loss Sharing (PLS). Apakah konsep teoritisi yang ditawarkan dengan sistem Mudharabah dan Musyarakah dalam literatur fiqih dapat diaplikasikan secara murni dalam tingkat realitas?. Makalah ini hendak mencermati bagaimana konsep Mudharabah itu dikembangkan dalam fiqih dan dapat digunakan dalam Perbankan Islam.

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH DALAM PEMBIYAAN PRODUKTIF

B. Mudharabah (Trust Financing, Trust Investasi)

1. Pengertian

"Mudarabah" adalah jenis khusus kemitraan di mana salah satu pasangan memberikan uang kepada orang lain untuk berinvestasi di perusahaan komersial. Investasi berasal dari mitra pertama yang disebut "rabb-ul-mal", sementara pengelolaan dan bekerja adalah tanggung jawab eksklusif yang lain, yang disebut "mudharib".

Mudharabah Adalah suatu pernyataan yang mengandung pengertian bahwa seseorang memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal.

a. Kontrak mudharabah dalam pelaksanaannya pada Bank Syariah nasabah bertindak sebagai mudharib yang mendapat pembiayaan usaha atas modal kontrak mudharabah. Mudharib menerima dukungan dana dari bank, yang dengan dana tersebut mudharib dapat mulai menjalankan usaha dengan membelanjakan dalam bentuk barang dagangan untuk dijual kepada pembeli, dengan tujuan agar memperoleh keuntungan (profit).

b. Filosofi dasar dari mudharabah adalah untuk menyatukan capital dengan labour (Skill dan enterpreneur) yang selama ini senantiasa terpisah dalam sistem konvensional. Dalam mudharabah akan tampak jelas sifat dan semangat kebersamaan dan keadilan, Hal ini terbukti melalui kebersamaan dalam menanggung resiko kerugian yang dialami proyek dan membagikan keuntungan pada waktu ekonomi sedang booming. (Perwataatmaja, 1999)

Mudharabah lebih cocok dalam perbankan Islam dibandingkan dengan syirkah. Syirkah hanya cocok unjtuk bank apabila bank tersebut berfungsi sebagai bank partisipan yang aktiv dalam menjalankan bisnis. Bagi bank, hal tersebut tidak praktis dan merupakan tindakan pemborosan, selain melanggar peraturan perbankan. Mudharabah bukan hanya cocok dengan bak syariah , namun fungsi pokok perbankan adalah memberikan modal kepada individu atau kelompok yang ingin berusaha, dan ini adalah mudharabah (rahman 436).

2. Landasan Syaria

Secara Umum, landasan dasar syariah Al-Mudharabah lebih mencerminkan Anjuran untuk melaksanakan usaha. Hal ini tanpak dalam ayat-ayat dan hadist berikut ini

· Al-Qur’an

واخرون يضربون فى الارض يبتغون من فضل الله.......

”dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT (Al-Muzzammil: 20)

Yang menjadi wajhud-dilalah (وجه الدلاله) atau argument dari ayat diatas adalah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.

فاذا قضيت الصلاة فانتشروا فى الارض وابتغوا من فضل الله....................

apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah SWT…. (Al-Jumu’ah 10)

· Al-Hadist

عن صالح ابن صهيب عن ابيه قال: قال رسول الله. ثلاث فيهن البركة البيع الى اجل والمقارضة واخلاط البر بالشعير للبيت لا للبيع.................

Dari Shalih bin Suhaib RA bahwa Rasulullah Bersabda: tiga hal yang didalamnya terdapat kebaikan: jual-beli secara tangguh, MuQoradhah (Mudaharabah), dan mencampur Gandum dengan Gandum untuk keperluan rumah bukan untuk dijual”

· Ijma’

Imam Zailai[1] telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadist yang dikutip Abu Ubaid[2]

3. Jenis-jenis Al-Mudharabah

Secara umum, Mudharabah terbagi menjadi dua jenis: Mudharabah muthalaqah dan mudharabah muqayyadah

· Mudharabah Muthlaqah

Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama seringkali mencontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibulmaal ke mudharib yang member kekuasaan sangat besar.

· Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, si Mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha,waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si Shahibul-maal dalam memasuki jenis usaha.

4. Aplikasi Dalam Pembiyaan Produktif

Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antra dua pihak,dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Karena sifatnya itulah mudharabah lebih praktis untuk dijalankan pada perbankan Islam dibandingkan dengan syirkah. Aplikasi mudharabah dalam perbankan syariah dapat berupa :

Pada sisi penghimpunan dana :

· Tabungan berjangka, dimaksudkan untuk tujuan umum, yang dapat dipakai untuk usaha apa saja yang tidak melanggar syariat. Misalnya deposito biasa.

· Deposito spesial, dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk usaha tertentu saja.

Pada sisi pembiayaan :

· Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja untuk perdagangan, industri atau jasa

· Investasi khusus, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul mal.

5. Manfaat Mudharabah :

· Bank akan menikmati peningkatan hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat

· Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap , tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak mengalami negative spread.

· Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow sehingga tidak memberatkan nasabah.

· Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang bukan hanya sesuai dengan syariah, namun juga mempunyai prospek yang baik

6. Permasalahan Mudharabah

Walaupun mudharabah dikatakan sebagai sesuatu yang ideal untuk perbankan Islam, dan mempunyai banyak keuntungan dan ” lebih baik” dibandingkan dengan siatem lainnya, namun ternyata mudharabah dalam kenyataaannya belum menjadi skema pembiayaan yang utama pada bank syariah. Berdasarkan data dari Internatioanl Assosiation of Islamic Bank (1996), skema mudharabah hanya diapakai sebesar 20% secara rata-rata pada bank Islam seluruh dunia. Islamic Development bank juga hanya memakai mudharabah pada sedikit poyeknya yang kecil. Kondisi perbankan syariah dalam menjalankan Mudharaba juga tidak terlihat baik. Berdasar statistik perbankan syariah pada Bank Indonesia, akad murabahah sekitar 70 persen dari total kredit. Di BRI, hampir 96 persen pembiayaan masih murabahah. Sementara di BSM, pembiayaan mudharabah mencapai 12 persen. (Republika, 19 Juli 2004).

Beberapa permasalahan yang dihadapai sehingga mudharabah menjadi kurang berkembang, diidentifikasikan natara lain sebagai berikut :

Pertama, kontrak profit loss sharing dikaitkan dengan agency problems manakala seorang pengusaha tidak mempunyai insentif untuk memberikan usaha tetapi mempunyai insentif untuk melaporkan profit yang lebih rendah dibandingkan dengan pembiayaan pribadi dari manager. Argumen ini berdasarkan ide bahwa pihak-pihak pada transaksi bisnis akan melalaikan jika mereka dikompensasi kurang dari kontribusi marginal pada proses produksi, dan manakala ini terjadi pada kasus profit loss sharing, kaum kapitalis ragu-ragu untuk berinvestasi berdasarkan basis profit loss sharing. Sebagai contoh A meminjam uang pada bank syariah AZ kemudian ia melaporkan keuntungannya pada laporan laba rugi yang usahanya lebih rendah. Sehingga, tingkat profit-loss sharing yang diberikan kepada bank lebih rendah.

Kedua, kontrak profit loss sharing membutuhkan jaminan agar dapat berfungsi secara efisien. Sedikitnya jaminan hak property pada kontrak profit loss sharing menyebabkan kegagalan adopsi karena tidak ada aturan yang melandasi. Pada praktiknya di Indonesia, jaminan hak property atas profit-loss sharing belum diatur dengan tegas dan jelas

Ketiga, perbankan Islam menawarkan risiko yang lebih kecil dari pembiayaan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Hal ini berdasarkan konsep mudharabah dan musharakah yang dianutnya. Tetapi seringkali pelaksanaannya manajemen asset dari mudharabah dan musharakah tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Idealnya, dana pada perbankan syariah disalurkan melalui kegiatan investasi pada asset riil. Tetapi pada kenyataannya di Indonesia, pengelolaan asset pada perbankan syariah masih terpusat pada Sertifikat Wadiah Bank Indonesia

Keempat, batasan peran investor pada manajemen dan dikotomi struktur keuangan dari kontrak profit loss sharing menimbulkan ketidak partisipasian. Mereka tidak berbagi kontrak berdasarkan partisipasi pengambilan keputusan. Disatu sisi terlihat hanya pihak manajemen yang mengelola dana sedangkan investor hanya menikmati hasilnya.

Kelima, pembiayaan ekuitas tidak tepat bagi pembiayaan proyek jangka pendek manakala dihadapkan pada tingkat risiko yang tinggi (efek diversifikasi waktu pada ekuitas). Pada kasus di Indonesia, dimana banyak pengelolaan dana perbankan syariah yang disalurkan melalui sertifikat wadiah bank Indonesia, menimbulkan risiko yang tinggi jika pembiayaan tersebut berjangka pendek dan lebih berisiko lagi jika bank syariah menyalurkan pengelolaan dana melalui Jakarta Islamic Index. (Humayon A. Dar and John R. Presley, 2001)

Pada dataran teknis, kelemahan itu bisa jadi memang terjadi pada bank yang menerapkan mudharabah sehingga bank menjadi kurang serius menggarap mudharabah. Namun, jika ditelaah lebih lanjut, sesungguhnya kelemahan yang terjadi pada konsep mudharabah itu bisa dilihat dengan sebab sebagaimana kelemahan sharing yaitu preferensi dan asymmetric information. sebagai berikut Kelemahan yang pertama misalnya, terjadi karena adanya moral hazard dari pelaku usaha (Mudharib) yang cenderung untuk memaksimalkan keuntungan, sehingga return yang akan didapat oleh bank sebagai shahibul mal menjadi berkurang. Salah satu penyebab dari keengganan bank menerapkan mudharabah adalah faktor resikonya yang tinggi dan alasan kehati-hatian (Prudential). Faktor resiko yang tinggi menyebabkan pihak shahibul mal akan meminta jaminan. Masalah resiko yang besar sebenarnya lagi-lagi terpulang dari informasi yang kurang lengkap atau preferensi dari pihak yang terlibat. Resiko biasanya diakibatkan oleh dua hal, yaitu resiko yang sudah menjadi sunnatullah dalam berusaha dan resiko moral hazard pelaku usaha (mudharib). Resiko yang menjadi sunantullah walau tidak dapat dipastikan , namun dapat diantisipasi dengan perencanaan usaha yang baik. Namun jika resiko itu adalah moral hazard dari pelaku usaha, maka hal itu tentu menjadi masalah lain.

Sebab lain adalah informasi yang tidak transparant yang disampaikan oleh mudharib kepada shahibul mal, sehingga informasi menjadi tidak berimbang. permasalahan tersebut adalah permasalahan yang terjadi pada sharing, yaitu tidak terjadinya informasi yang berimbang antara shahibul mal dan mudharib (Asymmertik Information). Sebab lainnya adalah kinerja dari bank sayariah sendiri. Ini menyangkut preferensi dari pihak shahibul mal.(Bank)

C. Musyarakah (Patrnership, Project Financing Participation)

1. Pengertian

Musyarakah adalah Kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan[3]

Penerapan yang dilakukan Bank Syariah, musyarakah adalah suatu kerjasama antara bank dan nasabah dan bank setuju untuk membiayai usaha atau proyek secara bersama-sama dengan nasabah sebagai inisiator proyek dengan suatu jumlah berdasarkan prosentase tertentu dari jumlah total biaya proyek dengan dasar pembagian keuntungan dari hasil yang diperoleh dari usaha atau proyek tersebut berdasarkan prosentase bagi-hasil yang telah ditetapkan terlebih dahulu.

2. Landasan Syariah

· Al-Qur’an

فهم شركاء فى الثلث.......................

maka mereka berserikat pada sepertiga......(An-Nisa’ 12)

Ayat ini menunjukkan pengakuan Allah SWT akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja perkongsian dalam ayat ini terjadi secara otomatis (jabr) karena waris.

· Al-Hadist

عن ابى هريرة رفعه قال :ان الله يقول انا ثالث الشريكين مالم يخن احدهما صاحبه...........................

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Bersabda: Sesungguhnya Allah Berfirman: Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak menghiyanati lainnya” (HR. Abu Daud 2936, dalam kitab Al-Buyu’ dan Hakim)

Hadist qutsi tersebut menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-hambanya yang melakukan perserikatan selama saling menjunjung tinggi amanah kebersamaan dan menjahui penghiyanatan.

· Ijma’

Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni[4] telah berkata: kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legimasi Musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.

3. Jenis-jenis Musyarakah

Musyarakah ada dua jenis: Musyarakah pemilikan dan Musyarakah akad (Kontrak). Musyarakah kepemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah asset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan asset tersebut.

Musyarakah akad tercipta dengan cara adanya kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Merekapun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad terbagi menjadi: al-‘inan, almufawwadhah, al-a’maal, al-wujuh dan al-Mudhrabah. Meskipun Al-mudharabah masih ada perdebatan apakah termasuk kategori Musyarakah atau tidak?

4. Aplikasi dalam Pembiayaan Produktif

· Pembiyaan Proyek

Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiyaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati

· Modal Ventura

Pada lembaga Keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, Musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan diinvestasi atau menjual bagian sahamnya. Baik secara singkat atau bertahap.

5. Manfaat Musyarakah

Terdapat banyak manfaat dari pembiyaan secara Musyarakah ini diantaranya sebagai berikut:

· Bank akan menikmati penigkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.

· Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan /hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.

· Pengambilan pokok pembiyaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.

· Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.

· Prinsip bagi hasil dalam Musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiyaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

D. Kesimpulan

a. Penutup

Dari pembahasan diatas kita dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Kerja sama, baik dalam Mudharabah atau Musyarakah adalah sesuatu yang sangat dianjurkan dalam Islam agar kita dapat saling membantu dalam menanggung resiko usaha tentu yang sesuai dengan syariah

2. Mudharabah yang termasuk salah satu jenis Kerjasama, yang saat ini memiliki banyak kendala dalam perkembangannya sehingga shahibul mal/bank enggan memakai skema kontrak ini.

3. Nilai-nilai yang terkandung dalam Islam dapat menjadi satu keunggulan preferensi individu muslim.

b. Saran

Potensi masalah yang timbul dalam pelaksanaan mudharabah dan Musyarakah agar dapat mengatasi kelemahannya dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu (Muljawan, 2001) :

1. Peningkatan kualitas preferensi Mudharib dalam menerima amanah dan shahibul mal

2. Peningkatan kualitas transparansi dalam kontrak seperti penyusunan kontrak yang lebih terperinci dan pemakaian benchmarking

3. Penerapan standar akuntansi yang memadai

Daftar Pustaka

· Syafi’I Antonio, Muhammad (2002) “Bank Syariah dari teori kepraktek” Gema Insani Jakarta.

· Muljawan, Dadang. 2001. Bank Syariah, Filosofi dan Operasi. Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia

· http://www.ekonomisyariah.org/



[1] Nasbu ar-Raiyan IV, hlm 13

[2] Kitab Al-Amwal hlm 454.

[3] Bidayatul-Mujtahid II. Hlm 253-257

[4] Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, Mughni wa syarhi Kabir (Beirut: Darul-Fikr 1979) vol. V hlm 109.

ekonomi hardi: Konsep distribusi dalam Al-Qur'an

ekonomi hardi: Konsep distribusi dalam Al-Q

Konsep distribusi dalam Al-Qur'an

Distribusi dalam Al-Qur’an
Perbedaan dalam kehidupan manusia merupakan ketetapan Allah, dengan inilah manusia manusia mempunyai peran lebih diantara makhluk lain dikehidupan ini. Disamping itu, perbedaan ini membawa pentingnya makna kerja sama antara satu orang dengan orang lain dalam memenuhi kepentingan-kepentingan hidupnya. Perbedaan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan, yang mana karena perbedaan inilah manusia bisa menghormati satu sama lain dan juga saling menutupi satu sama lain, tetapi dengan adanya perbedaan ini bukan alasan manusia antara satu dengan yang lain untuk melegitimasi kedudukannya dihadapan Allah SAW sebagai makhluk mulia dan hina.
Konsep Islam menjamin sebuah distribusi yang memuat nilai-nilai insani, yang diantaranya dengan menganjurkan untuk membagikan harta lewat sadaqah, infaq, Zakat dan lainnya guna menjaga keharmonisan dalam kehidupan social, Allah berfirman dalam Al-Qur’an
Al-Baqarah Ayat 261.
•                          
Artinya: perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
Penjelasan:
Dalam ayat diatas Allah SWT menegaskan tentang harta yang digunakan dalam kepentingan social/kebajikan yang berhubungan dengan Agama Allah SWT baik yang diperintahkan/diwajibkan oleh Allah SWT seperti nafkah, Zakat dll atau hanya karena mengharapkan ridha Allah semata dengan menyisihkan sedikit harta seperti Infaq, waqaf, dll. Dengan itu Allah SWT memberikan perumpamaan, seperti menanam satu biji tanaman yang mengeluarkan dahan/ bercabang tujuh cabang, yang mana dalam setiap dahan ada satu tangkai yang kemudian dalam satu tangkai terkandung didalamnya seratus biji tanaman seperti yang ditanam pertama tadi. Seperti itulah sebuah pahala atau ganjaran bagi siapapun yang bisa benar-benar ikhlas karena Allah SWT dengan menyisihkan sebagian hartanya dijalan Allah (Diinillah) .
   
Maka Allah SWT berhak melipatgandakan pahala sesuai keterangan diatas bahkan lebih dari itu kepada hamba-hambanya, maka oleh karena itu keihklasan sebuah amal baik sangat menentukan terhadap kualitas pahala yang tinggi (yang dilipatgandakan)
   
Allah SWT maha luas untuk menganugrahkan sebuah pahala yang berlipatganda yang kelipatannya bisa seratus kali lipat, karena kelipatan seratus ini merupakan jumlah yang sangat tinggi bagi hambanya, dan Allah SWT masih bisa menganugrahkan lebih dari itu sesuai dengan kata-kata waasi’(). Karena Allah SWT juga maha mengetahui kepada siapa Dia akan melipatgandakan pahala bagi hambanya.
At-taubah: Ayat 60
                         
60. Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.


Penjelasan:
Allah Azza wajalla dalam ayat ini menjelaskan tentang pelaksanaan konsep distribusi dalam Islam dengan membagikan harta, sesuai ketentuan yang ada dalam ayat diatas, yaitu Allah SWT telah menganugrahkan kepada sebagian hambanya dengan memilki harta yang lebih dari pada yang lainnya dan sebagai tanda syukur, ada sebagian kewajiban atau hak-hak orang lain yang dititipkan pada hamba ini, yang wajib dikeluarkan sesuai dengan ketentuan penyaluran harta (hak-hak tersebut) telah jelas ditentukan dalam ayat ini. Konsep yang sesuai dengan ayat ini adalah penyaluran Sadaqah/Zakat kepada Delapan golongan:
Seperti yang di tegaskan Allah SWT dalam ayat diatas delapan golongan itu:
1. الفقير)) Al-Faqiir: yaitu orang yang serba kekurangan tidak punya kemampuan untuk bekerja dan enggan untuk meminta-minta seperti Ahlus-shaffah pada masa Nabi.
2. (المساكين) Al-masaakiin: yaitu orang-orang yang serba kekurangan, punya kemampuan untuk bekerja dan biasanya suka meminta-minta kepada orang lain dengan mengikuti atau lain sebagainya.
3. (العاملين) Al-‘Amiliina: orang-orang yang yang bertugas mengelola sadaqah/ Zakat, dengan mengumpulkan zakat, mencari, mencatat dan menetapkan siapa yang wajar menerima lalu menyalurkannya .
4. (المؤلفة قلوبهم) Al-Muallaf: Orang-orang yang terbujuk hatinya untuk memeluk agama Islam namun Imannya masih lemah, atau orang-orang yang mepunyai pengaruh dalam agama Islam sehingga bisa mengislamkan orang kafir.
5. (الرقاب) Ar-Riqaab: merupakan bentuk jamak dari kata رقبة raqabah yang berarti “leher” namun pada masa nabi kata ini mengalami perluasan makna, yaitu “hamba sahaya” yang tidak jarang pada saat itu hamba sahaya ini berasal dari tawanan perang yang dibelenggu tangannya dengan diikatkan keleher-leher mereka. Namun pada saat ini hamba sahaya sudah tidak berlaku lagi, yang kemudian kalangan Ulama’ Kontemporer (Mutaakhiriin) lebih memperluas Interpretasi mereka seperti Shekh Al-Azhar dan Mahmud syaltun, dengan mengarahkan argumentasi mereka terhadap wilayah-wilayah yang sedang diduduki oleh musuh dan dijajahnya, yang menurut mereka wilayah ini butuh terhadap pendistribusian zakat/sadaqah kesana .
6. (الغارمين) Al-Ghaarimin: orang-orang yang terlilit hutang untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak ada kemampuan untuk membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7. (سبيل الله) Sabiilillah: orang-orang yang berjuang dijalan Allah baik terlibat langsung atau tidak (ikut berperan dengan menyediakan segala kebutuhan perang atau sesuatu yang berhungan dengan pertahanan keamanan), Namun ada sebagian kalangan Ulama’ tafsir (Mufassiir) yang mengarahkan pendistribusian perjuangan dijalan Allah terhadap segala kebutuhan tegaknya Agama Islam atau segala aktivitas yang menuju Ibadah, seperti menyalurkannya pada Organisasi-organisasi Islam, lembaga Pendidikan Islam, Masjid, Rumah Islam dll.
8. (ابن سبيل) Ibn Sabiil: orang yang merantau bukan dengan tujuan maksiat dan kehabisan bekal dalam perjalananya meskipun kaya dinegaranya.
Pendistribusian Sadaqah/ Zakat dalam hal ini lebih ditekankan kepada empat golongan pertama, untuk empat golongan selanjutnya masih tergantung kepada seberapa besar kebutuhan mereka terhadap sadakah.
Kesimpulan
Dari dua ayat diatas, yang mana keduanya berbicara tentang Sadaqah dan Zakat, maka dapat disimpulkan bahwa harta mempunyai fungsi social, fungsi tersebut ada yang ditetapkan oleh Allah SWT atas dasar kepemilikannya, seperti dalam ayat kedua, dan atas dasar persaudaraan seiman, sesama manusia sebangsa dan seagama. Sehingga dengan fungsi ini distribusi Sadaqah dan Zakat dapat meringankan kehidupan orang-orang yang memang membutuhkan baik secara langsung atau tidak. Islam tidak mengarahkan distribusi harus sama rata, akan tetapi Islam menjunjung tinggi keadilan atas dasar maslahah, antara satu dengan yang lain saling menyantuni, menghargai dan menghormati peran masing-masing. Ini semua bisa terlaksana jika masing-masing individu sadar terhadap eksistensinya dihadapan Allah SWT.