Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Qs: Al-Baqarah 168.
Komunitas
Muslim di seluruh dunia, khususnya Indonesia telah membentuk segmen pasar yang
potensial dikarenakan pola khusus mereka dalam mengkonsumsi makanan. Pola
konsumsi ini diatur dalam ajaran Islam yang disebut dengan Syariat. Dalam
ajaran Syariat, tidak diperkenankan bagi kaum muslim untuk mengkonsumsi
produk-produk atau makanan tertentu karena substansi yang dikandungnya atau
proses yang menyertainya tidak sesuai dengan ajaran Syariat tersebut. Dengan
adanya aturan yang tegas ini maka para pemasar memiliki sekaligus barrier dan
kesempatan untuk mengincar pasar khusus kaum Muslimin.
Islam mengajarkan umat muslim untuk
menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT dan melaksanakan apa saja yang
diperintahkan-Nya, ini membuat Muslim sebagai konsumen menjadi konsumen yang permissive dalam pola konsumsi
makanan. Karena dibatasi oleh ke-Halalan dan ke-Haraman seperti yang dimuat dalam nash Al Qur’an dan Al Hadist
yang menjadi panduan tegas utama mereka.
Di Indonesia. Khususnya di kota Pontianak,
masyarakat muslim dilindungi oleh lembaga khusus yang bertugas mengaudit
produk-produk atau makanan oleh konsumen muslim, Lembaga ini adalah Lembaga Pengawasan
dan Peredaran Obat dan Makanan – Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). Lembaga
ini mengawasi produk yang beredar di masyarakat dengan cara memberikan
sertifikat halal sehingga produk yang telah memiliki sertifikat halal tersebut
dapat memberi label halal pada produknya. Artinya produk tersebut secara proses
dan kandungannya telah lulus diperiksa dan terbebas dari unsur-unsur yang
dilarang oleh ajaran agama Islam, atau produk tersebut telah menjadi kategori
produk halal dan tidak mengandung unsur haram dan dapat dikonsumsi secara aman
oleh konsumen Muslim.
Label
halal yang ada pada kemasan produk yang beredar di Indonesia adalah sebuah logo
yang tersusun dari huruf-huruf Arab yang membentuk kata halal dalam sebuah
lingkaran. Peraturan pelabelan yang dikeluarkan Dirjen POM (Direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan Makanan) Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
mewajibkan para produsen-produsen produk makanan untuk mencantumkan label
tambahan yang memuat informasi tentang kandungan (ingredient) dari
produk makanan tersebut. Dengan begitu konsumen dapat memperoleh sedikit
informasi yang dapat membantu mereka untuk menentukan sendiri kehalalan suatu
produk.
Kondisi
masyarakat Muslim yang menjadi konsumen dari produk-produk makanan yang beredar
dipasar, toko makanan dll namun mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya
mereka konsumsi selama ini. Sebagai orang Islam yang memiliki aturan yang
sangat jelas tentang halal dan haram, seharusnya konsumen Muslim terlindungi
dari produk-produk yang tidak halal atau tidak jelas kehalalannya (syubhat).
LPOM MUI memberikan sertifikasi halal pada produk-produk yang lolos audit
sehingga produk tersebut dapat dipasang label halal pada kemasannya dengan
demikian masyarakat dapat mengkonsumsi produk tersebut dengan aman.
Kenyataan
yang berlaku pada saat ini adalah bahwa LPPOM-MUI memberikan sertifikat halal
kepada produsen-produsen obat dan makanan yang secara sukarela mendaftarkan
produknya untuk diaudit LPPOM-MUI. Dengan begitu produk yang beredar dikalangan
konsumen Muslim bukanlah produk-produk yang secara keseluruhan memiliki label
halal yang dicantumkan pada kemasannya atau pada poster toko makanan masyarakat
non muslim. Artinya masih banyak produk-produk yang beredar dimasyarakat belum
memiliki sertifikat halal yang diwakili dengan label halal yang ada pada
kemasan produknya. Dengan demikian konsumen Muslim akan dihadapkan pada
produk-produk halal yang diwakili dengan label halal yang ada kemasannya dan
produk yang tidak memiliki label halal pada kemasannya sehingga diragukan
kehalalan produk tersebut.
Meskipun
demikian banyak fakta dilapangan pada masyarakat non muslim yang mencantumkan
label halal pada poster di toko makanan mereka, seperti 100% halal atau halal
MUI yang mereka tidak tau menahu apa sebetulnya yang disebut halal itu sendiri,
dan mereka juga tidak memiliki pembelajaran khusus tentang bagaimana produk
makanan itu bisa disebut halal, ada juga yang mencantumkan label halal namun
pengerjaan mereka dalam pembuatan makanan tidak ada pemisah antara makanan yang
halal dan makanan yang haram menurut syariat, sehingga kita sebagai masyarakat
muslim memerlukan kewaspadaan khusus dalam keputusan menjadi konsumen mereka.