Rabu, 15 Desember 2010

Hakikat Manusia

Pendahuluan

Manusia hidup didunia ini tidak akan lepas dari yang namanya sebuah aturan, untuk menjadi Insan yang baik dan yang buruk, maka manusia yang baik yang senantiasa patuh pada perintahnya yang kadang-kadang lebih mulia daripada malaikat karena ketaqwaan kepada Allah SWT, begitu juga sebaliknya orang selalu melakukan kejelekan lebih buruk daripada setan karena kemaksiatan yang dilakukan olehnya.

Untuk menjadi manusia yang baik, tentunya tidak lepas yang namanya Undang-undang Allah SWT yang diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist sekaligus sebagai pegangan hidup seluruh umat manusia didunia ini, meskipun pada dasarnya manusia diberi kebebasan untuk menagatur dirinya sendiri, namun kebebasan manusia itu tidak harus berlaku mutlak, karena kebebasan itu dibatasi dengan aturan-aturan Allah SWT.

Di sisi lain manusia sering acuh-tak acuh dengan Al-Quran dan hadist karena dianggapnya sebagai aturan yang kolot yang selalu kearab-arapan dan mereka lebih condong pada aturan-aturan yang tidak jelas sumbernya karena kadang-kadang sikap ini dilakukan karena sikap keikut-ikutannya pada trend masa kini yang banyak sangat bertolak belakang dengan Al-Qur’an dan hadist , sehingga sikap dan prilakunya jauh sekali dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadist, maka sangat diperihatinkan kalau kebanyakan insan mendukung hal ini dengan anggapan yang positif benar. Seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah An-Anfal 24.

24. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu[1], ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.

Kemudian Dalam Surah Al-Ashr Allah telah bersumpah demi masa bahwasannya Manusia akan tetap dalam kerugian, yaitu kerugian dalam keburukan yang tidak mengikuti aturan-aturan Allah SWT, dengan memilih jalannya sendiri, meskipun mereka sudah mengetahui bahwa apa yang mereka pilih adalah salah, Namun dalam ayat selanjutnya dijelaskan pula, bagaimana agar Manusia terhindar dari kerugian itu? Yang mana disana langkah pertama yaitu membekali diri manusia dengan rasa Iman (yaitu percaya kepada Allah, Malaikat-malaikatnya, Kitab-kitabnya, Rasul-rasulnya, Hari Qiamah dan Qada’ Qadar) untuk selanjutnya melakukan amal-amal saleh, sehingga dengan amal-amal saleh itulah hati manusia bisa terbuka untuk saling berbuat baik dan saling menyadarkan satu sama lain.

Kemudian Allah SWT juga telah mengatur undang-undang manusia untuk menjalani hidupnya untuk menjadi insan yang baik, seperti dalam firmannya yang artinya saya ciptakan manusia dan Jin hanya untuk menyemabah kepadaKU, seluruh aspek kehidupan manusia telah diatur didalamnya sebagai jalan untuk menjadi insan yang baik, yang semata-semata hidup hanya karena mencari ridlonya. Mulai dari bangun tidur, mandi, shalat dan lain-lain, namun itu semua tidak luput dari pemantapan Iman terlebih dahulu supaya sang Manusia mengetahui kepada siapa Manusia harus mempercayakan Ibadahnya, yang hanya semata-mata kepada Allah SWT, dan hal ini sering juga disebut-sebut Manusia beribadah dalam melakukan shalat lima bahwasannya Shalat, Ibadah dan hidup serta mati manusia hanya untuk Allah SWT.

Maka dari itu dalam makalah ini akan dijelaskan hakikat Manusia dan apa yang harus diperbuat Manusia agar tidak tetap dalam kerugian, seperti dalam surah Al-‘ashr yang akan dibahas secara rinci dalam makalah ini, semoga bermanfaat Amiiin… ya rabbal’alamiin…….

Manusia.

1. A. Tafsir
1. Tentang Sumpah

Surah ini termasuk golongan Makkiyah yang diturunkan sesudah surah Asy-Syarh dan terdiri dari tiga ayat. Sayyid Quthb memahami aspek i’jazul Qur’an yang ketara pada surah pendek ini yang memang merupakan keistimewaan Al-Qur’an. Sebagai contoh misalnya, irama surah ini menunjukkan satu keserasian dimana pada akhir setiap ayatnya ditutup dengan huruf “ra”. Susunan redaksinya juga indah; berawal dari yang terpendek hingga yang terpanjang. Hanya dalam tiga ayat, tergambar dengan gamblang manhaj dan rambu-rambu kehidupan manusia yang dikehendaki oleh Islam yang berlaku sepanjang zaman dan pada setiap generasi. Memang hanya ada satu manhaj dan jalan keselamatan dari kerugian seperti yang dirumuskan dalam surah ini, yaitu iman, amal shalih, saling menasehati dalam mentaati kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.

Berkata al Imam as Syaafi`ie rahimahullahu Ta`ala : “Kalau tidaklah Allah menurunkan satu hujjah atas makhluq-Nya, kecuali surah Al `Ashr ini sudah cukup menjadi hujjah bagi mereka”[1]

Surah ini diawali dengan sumpah. Sumpah Allah dengan salah satu makhluknya yang terpenting yang menentukan kehidupan manusia, yaitu waktu, baik seluruhnya maupun sebagiannya. Dalam satu “masa” terdapat beberapa keadaan; sakit dan sehat, suka dan duka, demikian seterusnya saling berpasangan. Bahkan dalam sebuah ‘waktu’ tersimpan segala jenis peristiwa dan kejadian. Karena keagungan waktu inilah maka Allah bersumpah dengannya. Dan memang Allah berhak bersumpah dengan apapun yang dikehendakinya dari seluruh makhlukNya, sedangkan manusia hanya boleh bersumpah dengan Allah dan nama-nama atau sifatNya yang mulia.

Terdapat banyak pemahaman para ulama tentang maksud ‘Al-Ashr’ yang menjadi sumpah Allah dalam surah ini. Hasan Al-Bashri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘Al-Ashr’ adalah waktu petang, karena pada waktu inilah berakhirnya segala aktifitas manusia, sehingga tinggal menghitung untung dan rugi dari apa yang telah dilakukannya semenjak pagi hingga waktu petang. Dalam konteks waktu, sebagian ulama menyimpulkan bahwa biasanya Allah bersumpah dengan waktu dhuha dalam konteks keberuntungan dan dengan waktu petang dalam konteks kerugian.

Makna lain dari kata ‘Al-Ashr’ yang masyhur adalah sholat Ashar. Shalat Ashar merupakan sholat yang utama dan diperintahkan khusus oleh Allah untuk dipelihara dan dijaga melalui firmanNya: “peliharalah oleh kalian shalat-shalat kalian dan shalat wushtho, yaitu sholat Ashar”. (2: 238). Bahkan Rasulullah bersabda mengagungkan shalat yang satu ini dalam salah satu haditsnya: “Barangsiapa yang tertinggal shalat Ashar, maka ia seolah-olah kehilangan keluarga dan hartanya”. Dalam riwayat lain dinyatakan: “maka sia-sialah semua amalnya”. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Imam Ahmad). Disini Al-Biqa’i menemukan korelasi yang indah antara lafadz ‘insan’ yang merupakan sebaik-baik jenis makhluk Allah yang diciptakan dalam sebaik-baik kejadian (bentuk) dengan lafadz “Ashr” yang merupakan waktu pilihan, ibarat minuman jus yang dipilah dan diperas dari buah yang segar yang diistilahkan dalam bahasa Arab ‘Ashr.

1. Manusia dalam Kerugian

Secara redaksional, bentuk nakirah (indifinitive) pada lafaz “khusr” menunjukkan besarnya kerugian yang akan diderita oleh setiap manusia dan juga untuk menghinakan manusia yang menderita kerugian tesebut, karena kerugian itu meliputi kebinasaan diri dan usianya. Atau bentuk nakirah juga menunjukkan umumnya kerugian tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Al-Alusi bahwa kerugian yang disebut oleh ayat bersifat umum mencakup segala jenis kerugian; duniawi maupun ukhrawi. Seperti kerugian dalam perniagaan, kerja-kerja manusia maupun pemanfaatan usia yang akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah swt. Apalagi bahwa pernyataan Allah tentang kerugian setiap manusia dalam ayat ini diperkuat dengan dua huruf ta’kid (penegasan), yaitu Inna yg berarti sesungguhnya dan La yg berarti benar-benar.

Keumuman ayat kedua dapat difahami dari lafadz ‘insan’ yang didampingi oleh alif dan lam yang menunjukkan makna yang umum. Meskipun ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘manusia’ pada ayat ini adalah segolongan orang kafir seperti Al-‘Ash bin Wa’il, Al-Walid bin Al-Mughirah dan Al-Aswad bin Abdul Muthalib bin Al-Asad, namun tetap umumnya lafadz lebih kuat daripada khususnya ayat yang terbatas pada mereka yang telah menerima kerugian. Sehingga siapapun tanpa terkecuali tidak akan bisa terlepas dari kerugian melainkan jika ia berpegang teguh dengan ajaran yang terkandung pada ayat terakhir surah ini, yaitu iman, amal shalih dan saling menasehati untuk menepati kebenaran serta saling menasehati dalam kesabaran.

1. Tentang keImanan.

Iman dan amal shalih yang menjadi syarat pertama keluar dari kerugian merupakan dua hal yang saling terkait, ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Artinya tidak berguna dan akan mati iman seseorang tanpa amal shalih, begitu sebaliknya sia-sialah amal shalih yang tidak berlandaskan iman. Dari iman berasal setiap cabang kebaikan dan dengannya terkait setiap buah kebaikan. Oleh karena itu, Al-Qur’an dengan tegas menghancurkan nilai seluruh amal perbuatan, selagi amal perbuatan itu tidak didasarkan pada iman yang menjadi pendorong dan penghubung dengan Sang Maha Wujud. “Dan orang-orang yg kafir, amal perbuatan mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yg datar, yg disangka air oleh orang yg dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tdk mendapatinya suatu apapun”.(AN-Nur: 39). Secara impelementatif, Iman adalah gerak dan amal, pembangunan dan pemakmuran menuju Allah. Ia bukan sesuatu yang pasif, layu dan bersembunyi di hati nurani. Juga bukan sekedar kumpulan niat yang baik yang tidak tercermin dalam bentuk perbuatan & gerak.

Iman adalah hubungan wujud insan yang fana dan terbatas dengan asal yang mutlak dan azali serta abadi yang menjadi sumber semesta. Karena itu, berhubungan dengan wujud yang berasal dari sumber itu, aturan-aturan yang mngatur alam semesta ini dan fotensi-fotensi yang tersimpan didalamnya. Dengan demikian, ia bisa terlepas dari lingkungan dirinya sendiri yang kecil ke lapangan semesta yang besar. Juga dari kekuatannya yang kecil kepada fotensi-fotensi alam yang tak diketahui dan dari keterbatasan usianya kepada masa berabad-abad yang hanya diketahui oleh Allah SWT.

Keutamaan iman dan kedudukannya yang agung, seakan-akan hal ini menjadi hal yang dimulai dengannya dan dijadikan sebagai kewajiban yang pertama atas makhluk. Dari Abu Hurairah radhiallahu `anhu bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :

لا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

“Tidak akan masuk kalian ke dalam surga sampai kalian beriman, dan tidak akan beriman kalian sampai kalian saling cinta-mencintai, apakah mau kalian saya tunjukkan akan sesuatu apabila kalian kerjakan kalian akan saling cinta-mencintai ? Sebarkanlah salam sesama kalian”[2]

Lebih dari itu, hubungan iman dengan wujud insan ini memberikan kepadanya kekuatan, perkembangan, dan kebebasan. Karena, disamping semua ini, iman memberikan kesenangan terhadap wujud semesta dengan segala keindahan yang terkandung didalamnya. Juga dengan semua makhluk yang ruhnya berlemah lembut dan saling berkasih sayang dengan ruhnya sendiri. Dengan demikian, kehidpan adalah sebuah wisata dalam festival Ilahi yang memberikan posisi kepada manusia dalam semua tempat dan kesempatan.

Kehidupan imani adalah suatu kebahagiaan yang tinggi dan kegembiraan yang indah. Ia juga merupakan kemesraan terhadap kehidupan dan alam semesta ini seperti kemesraan seseorang dengan kekasihnya. Karena itu, kehidupan imani ini adalah sebuah keberuntungan yang tiada bandingannya pula. Pasalnya, unsure-unsur iman itu sendiri merupakan unsure-unsur kemnusiaan yang tinggi dan mulia.

Selain itu, rasa ketuhanan akan meninggikan perasaan manusia untuk beriman dengan nilai manhaj-Nya. Kemudian ia mengunggulkannya atas pola pandang jahiliah, tata nilai dan norma-normanya. Juga atas semua tata nilai yang dikembangkan dari ikatan-ikatan dunia nyata walaupun ia hanya seorang diri yang bersikap begitu. Karena ia menghadapi semuanya dengan pola padang, tata nilai dan norma-norma yang bersumber dari Allah secara langsung. Karena itu, apa yang dari Allah SWT inilah nilai yang lebih tinggi, lebih kuat, serta lebih patut diikuti dan dihormati[3].

Iman merupakan pokok kehidupan yang besar, yang menjadi sumber segala cabang kebaikan dan menjadi tali pegantungan buah-buahnya. Kalau kebaikan tidak bersumber pada iman, maka ia merupakan cabang yang terputus dari batangnya, yang akan layu dan kering. Kalau tidak begitu, yang ada hanyalah system setan yang tidak memiliki keteguhan dan kelanggengan.

Iman adalah manhaj yang menyatukan berbagai macam amal dan perbuatan. Ia mengembalikannya kepada system yang sesuai dengannya, Saling membantu dan berjalan bersamanya pada satu jalur. Semua itu melakukan dalam gerakan yang sama, dengan motivasi yang sudah dimaklumi dan dengan tujuan yang pasti.

Karena itu, Al-Quran mengabaikan setiap amalan yang tidak berpedoman pada prisip ini, tidak bertambat padab pelabuhan ini dan tidak bersumber dari manhaj ini. Pandangan islam sudah sangat jelas dan tegas mengenai semua persoalan ini. Al-Quran mengatakan dalam surat Ibrahim ayat 18

Artinya: Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti Abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.

Dan Allah juga berfirman dalam surat An-Nur ayat: 39

Artinya: Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya[1042].

Orang-orang kafir, karena amal-amal mereka tidak didasarkan atas iman, tidaklah mendapatkan Balasan dari Tuhan di akhirat walaupun di dunia mereka mengira akan mendapatkan Balasan atas amalan mereka itu.

Iman adalah indikasi yang menunjukkan sehatnya fitrah dan selamatnya eksitensi mausia. Juga menunjukkan keselarasnya dengan fitrah alam semesta, dan adanya intraksi manusia dengan alam sekitarnya. Ia hidup dialam semesta dan eksitensinya berinteraksi dengan alam ini. Interaksi itu harusnya berujung pada iman, merupakan indikasi-indikasi dan isyarat-isyarat dialam semesta yang menunjukkan adanya kekuasaan mutlak yang telah menciptakannya dengan keserasian dan keselarasannya. Apabila interaksi ini hilang tau terabaikan, maka hal itu sudah menunjukkan rusak dan tidak sempurnanya perangkat yang digunakan untuk berinteraksi. Yakni, eksitensi manusia itu sendiri yang berpedoman pada pola pikir yang salah. Ini sekaligus sebagai indikasi yang menunjukkan kepada kerusakan yang membawa kerugian. Tidak sah amalan yang dilakukannya meskipun scara lahiriah yang bersentuhan dengan kebaikan.

Dunia orang beriman itu luas, lengkap, lapang, tinggi, indah dan membahagiakan, sedangakan, dunia orang non mukmin tampak kecil, kerdil, rendah, hina, membingungkan, menyengsarakan dan merugikan.

1. Amal saleh

Kemudian setelah Iman ada Amal shaleh yang mana amal shaleh ini merupakan buah alami dari iman dan gerakan yang didorong oleh adanya hakikat iman Yang mantap didalam hati. Jadi, iman mrupakan hakikat yang aktif dan dinamis. Apabila sudah mantap dalam hati , maka ia akan berusaha merealisasikan diri diluar dalam bentuk amal saleh. Inilah iman islami yang tidak mengkin stagnan (berhenti) tanpa bergerak, dan tidak mungkin hanya bersembunyi tanpa menampakkan diri dalan bentuk yag hidup diluar diri orang yang beriman. Apabila ia tidak bergerak dengan gerakan yang otomatis ini, maka iman itu palsu atau telah mati. Keadaannya seperti bunga yang tidak dapat menambah bau harumnya. Ia menjadi sumber otomatis. Kalau tidak berarti ia tidak ada wujudnya.

Amalan sholih yaitu setiap perkataan atau perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah Jalla wa `Alaa. Hendaklah orang yang mengerjakannya semata-mata ikhlash karena Allah `Azza wa Jalla dan mengikuti Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam. Dan kecenderungan amalan sholih masuk kepada iman dikarenakan dengan menaruh perhatian yang sungguh dengan beramal sholih. Hal ini sebagai bentuk penegasan bahwa pembenaran dengan hati tidak bermanfaat tanpa diiringi dengan amalan[4]

Dalam ayat diatas ayat 3 dijelaskan seling keakraban dalam menjalani kehidupan yaitu dengan saling menasehati untuk menaati kebenaran dan bersabar seperti terlukis dalam keberadaan umat Islam dengan bentuk yang khas, ikatannya yang istimewa, dan arahnya yang sama. Yakni, umat yang merasakan keberadaannya sebagaimana kewajibannya. Juga mengerti hakikat sesuatu yang harus diutamakan, yang bersumber dari iman dan amal saleh, yang meliputi masalah kepemimpinan manusia dijalan iman dan amal saleh. Lantas, saling menasehati dengan nasehat yang dapat membangkitkan semangatnya untuk mengemban amanat terbesar ini[5].

1. Saling Menasihati

Saling menasihati untuk menaati kebenaran dan menetapi kesabaran ini terlukis dalam keberadaan umat Islam dengan bentuknya yang khas, ikatannya yang istimewa dan arahnya yang sama. Yakni, umat yang merasakan keberadaannya sebagaimana mereka merasakan kewajibannya, juga mengerti hakikat sesuatu yang harus diutamakan, yang bersumber dari iman dan amal saleh yang meliputi masalah kepemimpinan manusia dijalan iman dan amal saleh. Lantas, saling menasihati dengan nasihat yang dapat membangkitkan semangatnya untuk mengemaban amanat terbesar ini.

Dari celah-celah lafadz tawaashi’ saling menasihati dengan makna, tabi’at dan hakikatnya, tanpaknya potret umat yang kompak dan saling bertanggung jawab. Umat pilihan, umat yang baik, umat yang penuh pengertian, dan umat yang bermutu dimuka bumi dengan berpegang pada dan menegakkan kebenaran, keadilan dan kebaikan, ini merupakan gambaran paling tinggi dan paling indah bagi umat pilihan. Demikianlah yang dikehendaki Islam terhadap umatnya. Ia menghendaki umat Islam sebagai umat terbaik, kuat, penuh pengertian, tanggap, sensitif terhadap kebenaran dan kebaikan, dan saling menasihati untuk menaati kebenaran dan menatapi kesabaran. Semuanya dilakukan dengan penuh kasih sayang, penuh solidaritas, tolong menolong dan penuh rasa persaudaraan yang selalu disiram dengan “Tawaashi” dalam Al-Qur’an. “Saling menasihati untuk menasihati kebenaran” ini adalah sesuatu yang sangat vital. Karena , melaksanakan kebenaran itu sulit dan hambatannya banyak, seperti hawa nafsu, logika kepentingan, pola pikir lingkungan, kedzaliman penguasa, kedzaliman orang-orang yang zalim, dan penganiyaan para penyeleweng, Tawaashi adalah mengingatkan, member semangat, menyadarkan betapa dekatnya tujuan dan sasaran yang hendak dicapai dan mengingatkan akan perlunya persaudaraan didalam memikul beban dan mengemban amanat.

Dengan demikian, ia akan menambah dan menguatkan arahan dan kesadaran pribadinya, akan saling meningkatkan dan menguatkan, dan akan timbul kerja sama yang baik. Juga akan menambah sensitivitas terhadap setiap penjaga kebenaran bahwa disamping dirinya terdapat juga orang lain yang selalu member nasihat kepadanya, member semangat kepadanya. Agama Islam ini yang notabene adalah kebenaran, tidak akan dapat tegak berdiri kecuali dengan penjagaan umat yang bekerja sama, tolog-menolong, bantu membantu, saling menjamin dan saling bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugas seperti ini[6]. “Saling berpesan untuk mnertapi kesabaran” juga merupakan sesuatu yang vital. Karena, menegakkan dan amal saleh, dan menjaga kebenaran dan keadilan, merupakan sesuatu yang amat sulit yang dihadapi oleh perorangan dan jamaah. Karena itu, diperlukan kesabaran untuk berjihad melawan hawa nafsu dan berjihad terhadap orang lain yang memusuhi kebenaran. Sabar didalam menghadapi gangguan dan penderitaan, gelombang kebathilan dan merebaknya kejahatan, serta menempuh jalan yang panjang. Juga sabar terhadap lambatnya pencapaian tahapan-tahapannya, redupnya rambu-rambu dijalan, dan jauhnya ujung jalannya.

Saling berwasiat untuk bersabar ini akan dapat meningkatkan kekuatan. Karena, dapat mengbangkitkan kesadaran akan kesamaan tujuan, kesatuan arah, dan saling mendukungnya antara yang satu dan yang lain dan membekali mereka dengan kecintaan, keteguhan, dan kebersambungan. Juga dengan lain-lain makna jamaah yang hakikat Islam tidak dapat hidup kecuali dari celah-celahnya. Kalau tidak demikian, maka yang ada hanya kerugian dan kesia-siaan.

Kemudian Seakan-akan Allah Ta`ala telah menjadikannya sebagai salah satu sifat yang tidak akan dicapai satu keberhasilan kecuali dengannya. Dan pada ayat ini ada motivasi untuk berdakwah kepada Allah Ta`ala, bagaimanapun seorang da’i mendapatkan kesusahan dan gangguan. Dari Ibnu `Umar radhiallahu `anhuma bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :

الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ

“Seorang mukmin yang berbaur dengan manusia, dan sabar terhadap gangguan mereka, lebih besar ganjarannya daripada seorang mukmin yang tidak berbaur dengan manusia, dan dia tidak sabar terhadap gangguan mereka”.[7]

Ayat yang terakhir dan terpanjang dalam surah ini merupakan gambaran kepedulian seorang mukmin dengan saudaranya tentang kebaikan. Saling berpesan dalam kebenaran tentu sangat diperlukan, karena melaksanakan kebenaran itu butuh bantuan orang lain. Saling berpesan berarti mengingatkan, memberi dukungan, memotivasi dan menyadarkan. Dan seseorang tidak akan mungkin mampu melaksanakan kebenaran dan kebaikan yang sempurna secara personal, tanpa keterlibatan orang lain. Demikian juga saling berpesan dengan kesabaran sangat diperlukan karena akan bisa meningkatkan kemampuan, semangat dan perasaan kebersamaan. Apalagi dalam meyakini, menjalankan dan menyeru kebenaran tadi bisa jadi akan menghadapi hambatan, rintangan dan tantangan dalam beragam bentuknya. Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan, “Kesabaran adalah setengah dari (realisasi) iman seseorang”. Disinilah urgensi kepedulian seorang mukmin dengan suadaranya dalam dua hal yang saling berkaitan; kebenaran dan kesabaran.

Yang menarik untuk dicermati mengenai tafsir surah ini adalah pendapat Al-Wahidi dalam kitab tafsirnya Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab Al-Aziz. Beliau mengemukakan secara spesifik contoh mereka yang telah mendapat kerugian dan keberuntungan berdasarkan urutan dalam mushaf. Abu jahal merupakan representasi dari orang yang merugi. Abu Bakar merupakan sosok yang sesuai dengan implementasi iman. Umar bin Khattab mewakili orang-orang yang beramal shalih. Utsman bin Affan merupakan contoh nyata dari mereka yang saling menasehati dalam kebenaran dan Ali bin Abi Thalib identik dengan golongan yang saling menasehati dalam kesabaran. Lebih lanjut As-Syanqithi dalam tafsir ‘Adhwa’ul Bayan mengemukakan Mafhum mukhalafah dari setiap ajaran dalam surah ini; mafhum mukhalafah dari keberuntungan adalah kerugian, yaitu tdk beriman (kafir), tidak beramal atau beramal buruk, tidak berpesan dengan kebenaran atau berpesan tetapi dengan kebatilan serta tidak berpesan dengan kesabaran atau senantiasa berkeluh kesah.

Sungguh setiap kita mendambakan kesuksesan, keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Tidak ada jalan dan manhaj lain melainkan mengamalkan kandungan surah ini secara totalitas seperti yang pernah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah saw. Disebutkan bahwa tidaklah dua orang sahabat Rasulullah bertemu, melainkan salah seorang dari keduanya akan membacakan surah ini sebelum berpisah, kemudian saling mengucapkan salam dan saling berjanji serta berkomitmen untuk tetap berpegang teguh dengan iman dan beramal shalih, saling berjanji untuk senantiasa berpesan dengan kebenaran dan dengan kesabaran dalam menjalani kehidupan mereka.

1. B. Korelasi Ayat…
2. Kata `»|¡SM}$#

* Surah Al-‘Alaq ayat 2, 5 dan 6

t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ

Ayat menjelaskan tentang penciptaan Manusia dengan kemuliaan yang melebihi kodradnya. Diantara kemuliaan yang diberikan Allah SWT kepada manusia ialah Dia telah meningkatkan tingkat darah yang melekat di dinding ini ketingkatan sebagai manusia yang memiliki potensi untuk mengetahui sesuatu[8]. Hubungan dengan ayat diatas adalah masalah derajad kemuliaan yang akan Allah Berikan adalah salah satunya kepada orang-orang yang beriman.

zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ

“..mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui…”

Disinilah tanpaknya hakikat penurunan ayat yang pertama, yang pertama oleh hati Rasulullah saw. Pada saat pertama. Inilah yang mengubah perasaan dan bicaranya. Juga mengubah pengetahuan dan arahnya sesudah itu sepanjang hidupnya, dengan menyifatinya sebagai kaidah Iman yang pertama[9]. Maka dari sini bisa dikorelasikan dengan ayat diatas bahwa Manusia harus mempunyai Iman, baik itu untuk pengetahuan ataupun Intraksi sosial seperti ayat diatas.

Hxx. ¨bÎ) z`»|¡SM}$# #ÓxöôÜuŠs9 ÇÏÈ

Setelah Allah menciptakan, memuliakan dan mengajari manusia, akan tetapi, secara umum, kecuali orang yang terpelihara oleh imannya, tidak mau bersyukur ketika diberi nikamt. Lantas, dia merasa dirinya serba cukup, dan tidak mengetahui sumber nikmat dan kecukpan itu, padahal Allahlah sumber semua itu kemudian memberi rizki, hanya saja manusia yang melampaui batas dan sombong lupa akan nikmat Allah SWT[10].

Korelasi ayat ini adalah ketika ketikan Iman manusia tidak terpelihara maka manusia akan tetap dalam kerugian karena lupa akan nikmat yang diberikan Allah SWT.

* Surah Al-Fajr Ayat 15 dan 23

Dalam ayat ini Allah SWT Menguji Manusia dengan kelapangan dan kesempitan kekayaan dan kemiskinan yang menjdi ujian bagi manusia itu sendiri, dan mereka yang tahan dengan ujian itu beranggapan bahwa Allah akan memuliakan mereka.

Korelasinya adalah hampir sama dengan korelasi ayat-ayat sebelumnya bahwa Manusia untuk mendapatkan derajat kemuliaan harus ada ujian dahulu.

“pada itu ingatlah……

Manusia yang dulunya lalai terhadap hikmah ujian (ada pada ayat korelasi sebelumnya) yang berupa dan kesempitan kelapangan rizki serta kedudukan. Manusia yang mendapatkan harta dengan cara yang bathil, dan cinta kepada duniawi serta berbuat sewenang-wenang dengan meremehkan aturan Allah SWT, meskipun sebenarnya mereka mengetahui bahwa itu ujian. Maka pada hari itu (hari Qiamat mereka menyadari kebenaran dan hendak mengembil pelajaran dari apa yang dilihatnya akan semuanya sudah terlambat.

Korelasinya adalah Inilah balasan bagi orang-orang yang menetapi kerugian tanpa mengindahkan iman dan juga enggan beramal shale.

* Surah At-Thaariq ayat 5.

Hendaklah manusia sadar dan memperhatikan, dari apa dia diciptakan dan kemana dia harus kembali. Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari tulang Shulbi atau tulang dada, yaitu dari tulang shulbi laki-laki (tulang punggung) dan tulang dada perempuan yang ada sebelah atas sesungguhnya ini merupakan rahasia tersembunyi dalam ilmu Allah yang tidak diketahui oleh manusia[11].

Ayat hanya memberitahukan kepada manusia, kemana sebenarnya tujuan manusia itu sendiri, apakah memilih untuk merugi dengan tidak mengindahkan keimanan dan Amal saleh??

* Surah Al-Insyiqaaq ayat 6

$yg•ƒr’¯»tƒ ß`»|¡RM}$# y7¨RÎ) îyÏŠ%x. 4’n<Î) y7În/u‘ %[nô‰x. ÏmŠÉ)»n=ßJsù ÇÏÈ

Hai manusia yang memiliki keistimewaan “Kemanusiaan” mengapakah kamu tidak memilih untuk dirimu sesuatu yang sesuai dengan keistimewaan yang telah diberikan Allah kepadamu? Pilihlah keadaan untuk dirimu supaya bisa beristirahat dari kerja keras dan kelelahan ketika kamu bertemu dengannya[12]. Maksud kerja keras disini adalah kerja keras untuk menujua ridlo Allah SWT dengan memantapkan Iman dan beramal saleh sehingga Manusia jauh dari kerugian seperti yang dijelaskan dalam ayat diatas.

* Surah Al-Infithaar ayat 6

$pkš‰r’¯»tƒ ß`»|¡RM}$# $tB x8¡xî y7În/tÎ/ ÉOƒÌx6ø9$# ÇÏÈ

Hai manusia yang telah dimulaiakan oleh tuhanmu, yang dipelihara dan dirawatnya dengan kemanusiaanmu yang mulia, tanggap dan luhur. Hai manusia, apakah yang memperdayakanmu terhadap tuhanmu, sehingga engkau tidak memenuhi hak-haknya, engkau abaikan perintahnya, dan engkau beradab yang buruk terhadapnya? Padahal, Dia adalah tuhamnmu yang maha pemurah yang telah mencurahkan kemurahan, karunia, dan kebaikan-Nya kepadamu.

* Surah Ad-dhr/Al-Insaan ayat 1-2

Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang Dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?

Telah ada kabar tentang penciptaan Manusia (Adam AS) dari waktu yang yang sangat panjang, yang keadaannya masih belum bisa dikatakan Manusia yang menjadi penciptaan Manusia pertama kali. Ada riwayat mengatakan bahwa proses penciptaan Manusia pertama adalah 40 tahun sebelum Ruh ditiupkan kedalamnya, Namun masih belum dikatakan apa-apa (Manusia) baik dikehidupan langit ataupun bumi pada saat itu, hanya berbentuk jasad dari tanah, yang tidak diketahui namanya, maka kemudian Allah meniupkan Ruh kedalam jasad itu, sehingga jasad yang dari tanah itu bisa disebut Manusia[13].

Ayat ini mengingatkan kembali kepada kita bahwa Manusia hanyalah jasad dari tanah yang tidak bisa apa-apa, hanyalah karena Anugrah Allah SWT manusia bisa mempunyai Nama, maka dari itu pantaskah Manusia memalingkan diri dari Allah SWT, dengan memilih untuk merugi tanpa membekeli diri manusia dengan Iman dan Amal saleh untuk kembali kepadanya.

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur[14] yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat.

Allah SWT menciptakan Manusia dengan sempurna yang berasal dari campuran-campuran, yaitu campuran[15] seperma tebal, putih dari laki-laki yang menjadi urat kekuatan dan tulang-tulang Manusia, dan seperma lembut (tipis) dan kuning dari perempuan yang menjadi daging, darah dan Rambut. Dan bercampur pula dalam diri Manusia kebaikan dan keburukan, maka dari itu jadilah Manusia dalam keadaan bisa mendengar dan melihat agar bisa mendengarkan dan melihat ayat-ayat Allah SWT, sehingga mempunyai pegangan hidup yang jelas, mempunyai Iman dan bisa beramal saleh dan bermanfaat bagi kehidupan Manusia.

Daftar Pustaka

Muhammad Abdul Rasyid, Indeks Al-Quran A-Z, Jokjakarta, Chrisna Farmadiani, Cetakan Pertama April 2007

Nawawi, Muhammad. Tafsir Al-Munir. Dar-Al-Ihya Al-Kutub Al-‘Arab. Indonesia..

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, jakarta: Gema Insani Press, 2002

Buletin Ta’zhim As-Sunnah Edisi 12/IV/19 Rabi’ul Awwal 1431 H

[1] “Tafsiir Ibnu Katsir (14/451), dan berkata al Imam as Syaafi`ii rahimahullahu Ta`ala : “Kalau seandainya manusia mentadabbur surah ini (al `Ashr) akan mencukupi mereka

[2] “Shohih Muslim (54)”.

[3] Tafsir lafadz “Abasa watawalla” dalam Tafsir FIZhilalil-Qur’an.

[4] Buletin Ta’zhim As-Sunnah Edisi 12/IV/19 Rabi’ul Awwal 1431 H

[5] Sayyid Qutub “Tafsir fi Dzilalil-Qur’an 24 hlm 232

[6] Sayyid Qutub “Tafsir fi Dzilalil-Qur’an 24 hlm 233

[7] “Sunan Ibnu Maajah (4032)”.

[8]Sayyid Qutub “ Tafsir fi Dzilalil-Qur’an” 24 hlm 186

[9] Sayyid Qutub “Tafsir fi Dzilalil-Qur’an” 24 hlm 186

[10] Sayyid Qutub “Tafsir fi Dzilalil-Qur’an” 24 hlm 190

[11] Sayyid Qutub “Tafsir fi dzilalil-Qur’an” 24 hlm 74

[12] Sayyid Qutub “Tafsir fi dzilalil-Qur’an” 24 hlm 52

[13] An-Nawawi “Tafsir Al-Munir” 2 hlam 416

[14] Maksudnya: bercampur antara benih lelaki dengan perempuan.

[15] Mujahid mengatakan seperma lelaki berwarna putih dan merah dan seperma perempuan berwarna hijau dan kuning.
[1] Maksudnya: menyeru kamu berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang dapat membinasakan musuh serta menghidupkan Islam dan muslimin. juga berarti menyeru kamu kepada iman, petunjuk Jihad dan segala yang ada hubungannya dengan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat

Tidak ada komentar: